JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Hari Rabu mengulangi ancamannya untuk menggunakan kekuatan militer jika Iran tidak setuju untuk mengakhiri program nuklirnya, mengatakan Israel akan memegang peran kunci dalam setiap aksi militer.
Presiden Trump mengatakan, Iran tidak boleh diizinkan memiliki senjata nuklir dan jika menolak menghentikan upaya pengembangan, aksi militer dapat menyusul.
"Saya tidak meminta banyak, tetapi mereka tidak dapat memiliki senjata nuklir," kata Trump kepada wartawan setelah menandatangani beberapa perintah eksekutif di Ruang Oval, melansir Reuters 10 April.
"Jika itu memerlukan militer, kami akan memiliki militer. Israel, tentu saja, akan menjadi pemimpinnya. Tidak ada yang memimpin kami. Kami melakukan apa yang kami inginkan," lanjutnya.
Meski demikian, Presiden Trump menolak untuk membahas kapan aksi militer dapat dimulai.
"Saya tidak ingin spesifik. Tetapi ketika Anda memulai pembicaraan, Anda tahu apakah itu berjalan dengan baik atau tidak. Dan saya akan mengatakan kesimpulannya adalah ketika saya pikir itu tidak berjalan dengan baik," jelas Presiden Trump.
Pada Hari Senin, Presiden Trump membuat pengumuman mengejutkan, Amerika Serikat dan Iran siap untuk memulai pembicaraan langsung mengenai program nuklir Teheran pada Hari Sabtu, memperingatkan Iran akan berada dalam "bahaya besar" jika pembicaraan tersebut tidak berhasil.
Iran, yang telah menentang tuntutan Trump dalam beberapa minggu terakhir, mengatakan pembicaraan tidak langsung akan diadakan di Oman, yang menggarisbawahi perbedaan antara kedua negara.
Sehari kemudian, media pemerintah Iran mengatakan pembicaraan tersebut akan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dan Utusan Presiden AS Steve Witkoff, dengan perantaraan Menteri Luar Negeri Oman, Badr al-Busaidi.
AS dan Iran diketahui mengadakan pembicaraan tidak langsung selama masa jabatan mantan Presiden Joe Biden.
Negosiasi langsung terakhir yang diketahui antara kedua pemerintah adalah di bawah Presiden Barack Obama, yang mempelopori kesepakatan nuklir internasional 2015 yang kemudian ditinggalkan Donal Trump.
BACA JUGA:
Selama masa jabatan pertamanya pada 2017-2021, Trump menarik AS dari kesepakatan 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia yang dirancang untuk mengekang pekerjaan nuklir Iran yang sensitif dengan imbalan keringanan sanksi. Trump juga memberlakukan kembali sanksi AS yang luas.
Sejak saat itu, Iran telah jauh melampaui batasan kesepakatan itu pada pengayaan uranium.
Negara-negara Barat menuduh Iran memiliki agenda rahasia untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir dengan memperkaya uranium ke tingkat kemurnian fisil yang tinggi, di atas apa yang mereka katakan dapat dibenarkan untuk program energi atom sipil.
Di sisi lain, Teheran mengatakan program nuklirnya sepenuhnya untuk tujuan energi sipil.