JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejahgung) menyita uang senilai Rp2 miliar milik Djuyamto, hakim sekaligus tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait vonis lepas (ontslag) perkara ekspor minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) yang melibatkan sejumlah korporasi besar.
Uang miliaran rupiah itu disita usai diserahkan Djuyamto melalui kuasa hukumnya kepada penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
"Bahwa uang senilai dua miliar rupiah tersebut diserahkan secara langsung oleh penasihat hukum dari tersangka DJU kepada tim penyidik," ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dalam keterangannya, Rabu, 11 Juni.
Setelah diterima dan dihitung secara teliti, uang tersebut dijadikan alat bukti tambahan dalam penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi tersebut.
"Uang tersebut disimpan atau dititipkan pada rekening penampungan Kejaksaan Agung," kata Harli.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka utama, termasuk tiga hakim aktif: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Selain itu, tersangka lainnya adalah Wahyu Gunawan (panitera muda perdata PN Jakarta Utara), dua advokat yakni Marcella Santoso dan Aryanto Bakri, serta Muhammad Arif Nuryanta yang menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tersangka terbaru yang ditetapkan ialah Muhammad Syafei, Kepala Legal Jaminan Sosial di PT Wilmar Group. Ia diduga sebagai pihak yang mengatur aliran dana suap senilai Rp60 miliar melalui panitera Wahyu Gunawan kepada para hakim.
Uang suap tersebut ditengarai diberikan demi menjatuhkan vonis lepas kepada tiga korporasi raksasa: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Ironisnya, ketiga hakim dalam majelis disebut menerima uang dalam kondisi mengetahui bahwa dana tersebut bertujuan untuk mengintervensi putusan pengadilan. Hal ini menambah daftar panjang dugaan persekongkolan dalam sistem peradilan Indonesia.