JAKARTA - Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai lupus menjadi langkah krusial untuk mencegah komplikasi serius yang dapat timbul akibat penyakit ini.
Edukasi yang tepat dan menyeluruh dapat membantu penderita lupus mengenali gejala sejak awal, melakukan pengobatan dengan tepat, serta menjalani gaya hidup yang mendukung pemulihan jangka panjang.
Dokter spesialis penyakit dalam RSUP Kariadi, dr. Fenda Adita, menjelaskan bahwa lupus merupakan penyakit autoimun sistemik yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, termasuk sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf, dan jantung. Penyakit ini sering dijuluki “penyakit seribu wajah” karena gejalanya sangat beragam antara satu pasien dengan lainnya.
“Lupus ini seperti fenomena gunung es, apa yang terlihat hanya sebagian kecil. Banyak pasien yang belum terdiagnosis karena gejalanya samar atau menyerupai penyakit lain,” ujar dr. Fenda dalam siaran resmi Kementerian Kesehatan di Jakarta, seperti dkutip ANTARA.
Ia menyebut bahwa di RS Kariadi sendiri, sepanjang tahun 2024 tercatat sekitar 22.000 kasus lupus yang ditangani di poliklinik.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, dr. Fenda memaparkan bahwa penyebab lupus berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain genetik, hormonal, dan lingkungan. Pada wanita, peningkatan hormon estrogen dan prolaktin menjadi salah satu pemicu, sedangkan pada pria terjadi penurunan hormon androgen. Selain itu, paparan bahan kimia seperti silika dan timah, gaya hidup yang tidak sehat, serta infeksi virus juga turut berperan.
Deteksi dini lupus masih menjadi tantangan karena proses diagnosis memerlukan pemeriksaan genetik yang biayanya relatif tinggi. Sementara itu, gejala-gejala yang perlu diwaspadai meliputi nyeri sendi yang muncul di malam atau pagi hari, ruam kulit akibat paparan sinar matahari, penurunan jumlah trombosit, anemia berulang, pembengkakan pada kaki karena gangguan ginjal, hingga penumpukan cairan di paru-paru (efusi pleura).
“Pasien lupus sebaiknya menghindari paparan sinar UV dan secara rutin mengonsumsi vitamin D3 seumur hidup, karena berperan penting untuk kesehatan tulang dan metabolisme,” jelas dr. Fenda.
Ia juga menekankan bahwa stres emosional dapat memicu kekambuhan, sehingga pengelolaan stres menjadi bagian penting dalam penanganan lupus. Pemerintah, lanjutnya, telah menyediakan akses obat-obatan esensial untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Beberapa dekade lalu, angka harapan hidup penderita lupus sangat rendah. Kini, dengan edukasi dan dukungan layanan kesehatan yang lebih baik, penderita memiliki peluang hidup yang jauh lebih baik.
Dalam rangka memperingati Hari Lupus Sedunia, dr. Fenda berharap agar kampanye edukasi terus digencarkan dan layanan pengobatan untuk lupus dapat diperluas ke berbagai daerah agar semua pasien mendapatkan penanganan yang layak.