JAKARTA - Singapura tengah melakukan penelitian yang dikenal dengan Sing-CoV di Pusat Nasional untuk Penyakit Menular (NCID).
Penelitian ini dilakukan untuk membantu para peneliti memahami mengapa infeksi COVID-19 masih terjadi meskipun sudah vaksinasi.
Tak hanya itu, penelitian ini juga dilakukan dengan tujuan mengembangkan kerangka kerja dan keahlian untuk melakukan studi mengenai tantangan manusia di masa depan.
“Kita perlu terus memperkuat kesiapan dan respons Singapura terhadap penyakit menular, termasuk penyakit X, penyakit masa depan yang dapat mengakibatkan pandemi,” kata Profesor Vernon Lee, kepala eksekutif Badan Penyakit Menular, dikutip dari The Straits Times, pada Senin, 17 Maret 2025.
Untuk melakukan penelitian ini, terdapat lima sukarelawan yang merupakan anak muda. Mereka rela terpapar virus COVID-19 dan ditempatkan di lokasi terkendali medis.
Langkah ini dilakukan agar peneliti bisa menganalisis dan mendapatkan wawasan lebih tepat tentang agen infeksi dalam waktu singkat. Ini juga dapat membantu mempercepat perkembangan vaksin dan terapi.
Penelitian Sing-CoV ini juga ditujukan menjadi instrumen baru bagi Singapura untuk menghadapi tantangan penyakit menular berikutnya. Termasuk juga mengembangkan langkah-langah dan respons lebih cepat terhadap penyakit menular di kemudian hari.
“Studi tantangan ini sangat berguna untuk memilih vaksin atau perawatan yang akan diuji dalam uji coba yang lebih besar, karena dapat dilakukan dengan cepat dan biaya hemat, dengan peserta yang lebih sedikit,” tutur Associate Professor Barnaby Young, peneliti utama untuk Sing-CoV.
BACA JUGA:
Dalam pelaksanaan penelitiannya, para sukarelawan akan mendapat biaya pengganti senilai 300 dolar Singapura atau sekitar Rp3,6 juta per hari. Tim peneliti akan mengumpulkan swab hidung, sampel darah dan tinja, bahkan udara yang dihembuskan dengan bantuan mesin yang dapat dihirup peserta.
Profesor Young mengatakan jumlah virus yang diberikan pada sukarelawan sama dengan yang diberikan dalam studi Covid-19 di Inggris. Para peneliti juga sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa peserta yang terpapar virus dalam lingkungan yang aman dan terkendali.
Prof Young mengatakan jumlah virus yang diberikan dalam penelitian ini sama dengan yang diberikan dalam studi Covid-19 Inggris, dan para peneliti sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa peserta terpapar virus dalam lingkungan yang aman dan terkendali.
Selama tinggal hingga 14 hari, peserta dipantau secara ketat oleh tim perawatan kesehatan khusus untuk memastikan mereka tetap sehat. Risiko mengembangkan infeksi parah sangat kecil, tetapi jika itu terjadi, perawatan medis akan segera diberikan.
"Sekitar 130 orang telah mengambil bagian dalam studi tantangan manusia Sars-CoV-2 di seluruh dunia sekarang, dan tidak ada yang mengalami efek samping yang parah. Tidak ada yang membutuhkan obat antivirus atau mengalami infeksi parah," kata Goh Zhi Hao, salah satu sukarelawan.