Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas. Mencabut izin tambang di Raja Ampat. Empat izin usaha pertambangan (IUP) milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham resmi dicabut. Kebijakan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang diteken pada Januari lalu.
Keempat perusahaan tersebut beroperasi tanpa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Mereka melangkahi norma dasar pertambangan. Luas wilayah konsesi kabarnya mencapai ribuan hektar, sebagian bahkan disebut-sebut berada di kawasan Geopark UNESCO yang seharusnya dilindungi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa belum ada satu pun dari perusahaan itu yang berproduksi karena tak memenuhi syarat administratif. Dari lima perusahaan yang terdaftar di Kabupaten Raja Ampat, hanya satu yang memiliki RKAB. PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang izinnya tetap berlaku.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyatakan kajian terkait tambang nikel sebenarnya sudah dilakukan, tetapi hasilnya belum sempat diserahkan karena proses internal yang tersendat. Negara seperti memasang jaring setelah ikan kabur—alam lebih dulu rusak, baru tindakan menyusul. Ini potret buruk tata kelola sumber daya alam.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengingatkan bahwa aktivitas tambang tersebut berpotensi melanggar hak masyarakat adat dan menimbulkan konflik sosial. Pulau-pulau kecil yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan dan Kelautan (WP3K) secara hukum tidak boleh ditambang. Pulau kecil bukan warisan investor, tapi milik generasi mendatang. Maka, pencabutan izin saja tidak cukup. Komnas HAM menuntut pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat secara konkret.
BACA JUGA:
Pihak Kepolisian melalui Bareskrim, bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) serta ESDM, kini tengah menyelidiki potensi tindak pidana lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, memastikan kementeriannya mendalami pelanggaran hukum dari perusahaan-perusahaan yang IUP-nya dicabut.
Raja Ampat dikenal sebagai “surga terakhir di Bumi”. Greenpeace mencatat, keanekaragaman hayatinya luar biasa. 75 persen spesies karang dunia berada di sini, bersama lebih dari 2.500 jenis ikan, 47 spesies mamalia, dan 274 spesies burung. Wilayah ini juga telah ditetapkan UNESCO sebagai geopark global—mewakili simbiosis antara alam, budaya, dan potensi wisata.
Pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Semua bergantung pada laut yang sehat. Jika ekosistem rusak, siapa yang mau datang?
Kini pertanyaannya: setelah Raja Ampat, apakah izin tambang di kawasan konservasi lainnya akan ditinjau ulang? Apakah ini menjadi sinyal bahwa pulau kecil di Raja Ampat adalah garis merah pertama?
Inilah momentum bagi pemerintah untuk memulai audit menyeluruh atas seluruh izin tambang di Indonesia. Jangan biarkan Raja Ampat menjadi preseden kesakitan sekaligus alat legitimasi palsu bahwa negara berpihak pada rakyat.
Raja Ampat bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah pernyataan moral bangsa. Gerakan publik lewat #SaveRajaAmpat telah memaksa negara bertindak. Tapi jangan berhenti. Jika kerusakan dicegah sebelum krisis, kita tak perlu menambal luka yang sudah dalam.
Pertanyaannya kini sederhana namun krusial. Apakah kita merawat surga, atau justru menawarkannya ke pasar? Jika pencabutan izin baru dilakukan setelah desakan publik dan kerusakan nyata, berarti pola lama masih hidup. Negara harus belajar. Izin bukan kuasa mutlak. Izin adalah amanah bagi bangsa dan anak cucu.
Raja Ampat menuntutnya.