Kesetiaan Pangeran Pekik dan Loyalitas Menteri Merah Putih

30 April 2025, 09:00 | Tim Redaksi
Kesetiaan Pangeran Pekik dan Loyalitas Menteri Merah Putih
Foto Karya Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA – “Panggil Anakmas Pekik.” Perintah itu bukan sembarangan karena keluar dari mulut orang yang paling berkuasa di seantero Tanah Jawa, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Titah itu merupakan klimaks dari pergulatan batin Sultan akhir-akhir ini. Segera dua orang tamtama bersenjata tombak tunduk menyembah, mengundurkan diri, lalu setengah berlari menuju kediaman Pangeran Pekik.

Itulah awal kisah tentang penaklukan Giri Kedaton oleh Kerajaan Mataram yang tertuang dalam Babad Tanah Jawi. Ini bukan hanya cerita tentang aneksasi, tapi juga kesetiaan seorang Pangeran Pekik kepada Mataram.

Tiga tahun sebelum titah diucapkan, Pangeran Pekik mendapat kamulyan berupa perjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan Agung. Ini adalah perkawinan politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada Mataram. Pekik adalah penguasa pesantren Ampel di Surabaya, di mana pada tahun 1625 M, ayah Pekik yaitu Pangeran Jayenglengkara – Adipati Surabaya --menyatakan takluk pada Sultan Agung di Mataram. Dengan demikian meski Pekik adalah taklukkan, tapi status taklukkan dihapus dengan pernikahan tersebut.

“Ampun Kanjeng Sultan, ada apa gerangan memanggil hamba?” Pekik dengan takzim menghaturkan sembah. Walau putra Surabaya, menantu sultan, pemimpin perguruan Ampel sekaligus cucu dari Sunan Ampel, tapi di hadapan Sultan Mataram nyalinya ciut juga. Apalagi beberapa hari ini ia selalu mimpi buruk.

“Dinda Pekik”, yang dipanggil semakin gemetar. Jarang Sultan Mataram memanggil dengan sedemikian lembut. “Saya mau bertanya padamu, bagaimana kiranya jika di dunia ini ada dua matahari, surya kembar.” Pekik terdiam. Diperlukan mental dan kecerdasan luar biasa untuk memberikan jawaban yang tepat di saat kondisi tertekan. Pekik sudah cukup lama tinggal di lingkungan Istana Mataram, tentu paham persis maksud surya kembar.

“Tertib dunia akan hilang Kanjeng Sultan. Orang akan sulit untuk mendapatkan pegangan. Lama kelamaan masyarakat akan hancur.” Sultan Agung manggut-manggut dengan jawaban tersebut. Lalu, “Terus bagaimana caranya agar tertib dunia itu segera pulih.” Dengan sigap Pekik menjawab, “Matahari yang satu harus dipadamkan.”

Tidak kalah sigap pula Sultan Agung ing Mataram langsung memberi perintah “Baiklah Anakmas Pangeran, Anakmas aku tugaskan untuk memadamkan matahari yang satu itu.” Seketika Siti Hinggil hening. Demikian pula Pangeran Pekik, hening, tetapi hatinya berkecamuk. Namun sebagai menantu sekaligus taklukkan, Pekik tidak bisa lain harus memberikan menjawab, “Sendiko Kanjeng Sultan.”

Raden Pekik (Matahari yang Satu Harus Dipadamkan) (IST)
Raden Pekik (Matahari yang Satu Harus Dipadamkan) (IST)

Selepas dari Siti Hinggil, Pangeran Pekik mengadu pada istrinya, Ratu Pandansari. “Dinda, sungguh malang nasibku ini. Baru saja saya mendapat tugas luar biasa berat dari Kakanda Sultan.” Dengan lembut permata mataram menghibur suaminya, “Kakangmas, tugas apa gerangan yang berat itu. Bukankah tidak ada yang mustahil bagi keturunan Sunan Ampel seperti Kakangmas. Lagi pula ada Adinda yang siap bela pati demi Kakanda.”

Kata-kata lembut Pandansari seperti air sejuk bagi Pekik, “Adinda, Kakang mendapat tugas untuk menaklukkan Giri Kedaton. Ini sangat berat bagi saya, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan Sunan Ampel seperti saya harus memadamkan matahari Islam di Giri? Bagi saya lebih baik mati dari pada harus menggempur Giri.” Pandansari memahami kebimbangan suaminya, tapi juga mengetahui bagaimana caranya agar suaminya luluh. Pandansari adalah benteng mataram. Bagi orang seperti dia perintah Sultan adalah hukum, dunia dan akhirat.

Tidak menunggu lama, suatu pagi di tahun 1636 M, pasangan suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua pusaka, Bende Mataram dan Tombak Kyai Plered. Seluruh rakyat Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali diguncang perang. Kali ini bukan perang sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi Mataram, kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus dihilangkan.

Musim panen 1636 M, Pasukan Mataram bergerak ke timur untuk bergabung dengan Laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Walaupun terkenal ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian), Sunan Giri V tetap terkejut tatkala pada malam gulita Pangeran Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton. Tujuannya hanya satu, membujuk agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi tidak tumpahnya darah sesama muslim.

“Kanjeng Sunan, sejelas benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi keinginan Kakanda Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada Giri,” ucap Pekik. Balairung senyap sejenak. Kejadian selanjutnya adalah hal yang tidak terduga bagi Pangeran Pekik. “Bagaimana Endrasena, sanggupkah kamu membendung Mataram?” Dengan berapi-api, Endrasena menjawab, “Demi kewibawaan Giri, apapun akan saya lakukan.”

Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden ke-7 Joko Widodo (ANTARA)
Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden ke-7 Joko Widodo (ANTARA)

Hawa panas menyelimuti Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah, Pekik undur diri. Air matanya jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir memaksanya bertindak lain. Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh bertalu-talu. Perangpun pecah. Kedaton Giri dihancurkan oleh laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan Pandansari pada tahun 1636.

Loyalitas Seorang Menteri kepada Presiden Harus Jelas

Kisah tentang kesetiaan Pangeran Pekik kepada Sultan Agung di atas rasanya bisa menjadi pelajaran bagi menteri-menteri di Kabinet Merah Putih terkait loyalitas kepada seorang pemimpin, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto. Ya, belakangan ini masalah loyalitas menteri-menteri di KMP mendapat sorotan usai kunjungan beberapa menteri ke kediaman Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

Meski terbalut suasana Idulfitri yang dibungkus dengan kata halal bilhalal, terlontarnya ucapan “Jokowi masih bos saya” tentu menimbulkan multitafsir di khalayak ramai. Wajar juga jika pada akhirnya mencuat isu adanya matahari kembar di pemerintahan Prabowo Subianto.

Isu yang tentu berupaya diredam oleh pemerintah. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menganggap kedatangan beberapa menteri KMP ke kediaman Jokowi merupakan hal yang wajar. Apalagi, hal itu dilakukan di momen Idulfitri. Karena itu, dia menepis adanya kesan bahwa pertemuan tersebut berlawanan dengan kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI saat ini.

Menurut Prasetyo, semangat dari pertemuan itu adalah murni silaturahmi dan tidak perlu diasosiasikan dengan konflik politik. “Enggak, sama sekali tidak. Karena bagi beliau, semangatnya kan silaturahmi, jadi tolong jugalah, jangan kemudian diasosiasikan ini ada menteri yang silaturahmi kepada Bapak Jokowi, lantas dianggap ada matahari kembar, jangan begitu,” tukasnya.

Mensesneg memastikan bahwa jajaran pemerintahan saat ini tetap solid dan fokus bekerja di Kabinet Merah Putih. “Solid ... solid. Semua sedang bekerja keras di bidangnya masing-masing, dengan tugasnya masing-masing, dengan dinamika permasalahan di masing-masing, baik kemenko maupun kementerian, sedang bekerja keras menyelesaikan semua permasalahan,” tegas Prasetyo.

Bagi peneliti senior, Pusat Riset Politik BRIN, Lili Romli, pemerintahan Prabowo bisa dalam kondisi berbahaya bila ada menteri-menteri KMP yang benar-benar menempatkan Jokowi sebagai “bos sesungguhnya”. Karena itu, dia hanya bisa berharap agar kunjungan ke kediaman Jokowi hanya sebatas silaturahmi idulfitri, dan ucapan “bos” tersebut cuma sekadar candaan.

Ketua Umum Partai Golkar Lahadalia dengan Presiden ke-7 RI Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Selasa (8/4/2025). ANTARA/Aris Wasita
Ketua Umum Partai Golkar Lahadalia dengan Presiden ke-7 RI Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Selasa (8/4/2025). ANTARA/Aris Wasita

"Jika (cuma silaturahmi) ini yang terjadi, maka hal yang wajar dan lumrah para menteri tersebut yang notabene sebagai mantan pembantu presiden lalu anjang sana kepada Jokowi. Tapi kalau para menteri tersebut menempatkan Jokowi benar-benar sebagai bos sungguhan, di mana mereka selalu melapor dan minta arahan, baik langsung atau tidak langsung, ini berbahaya,” ujarnya, Senin 28 April 2025.

“Wajar bila muncul spekulasi ada matahari kembar, karena loyalitas pembantu presiden saat ini menjadi dipertanyakan. Mereka ini sesungguhnya loyal kepada siapa. Dampak dari tidak loyal ini, bukan tidak mungkin segala arahan dan kebijakan Presiden Prabowo bisa berantakan,” sambung Lili.

Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam menyarankan agar Presiden Prabowo menguatkan hubungan antara para partai pendukung dan jajaran menteri KMP sebagai upaya keluar dari bayang-bayang Jokowi.

Selain itu, Prabowo juga harus mengubah cara berkomunikasi dengan jajaran agar tetap bisa berada dalam satu koridor yang sama dalam membangun Indonesia. Terlebih, Prabowo telah mengakui bahwa komunikasi menjadi salah satu kelemahan utama dalam pemerintahannya.

“Saat seorang menteri tidak bisa komunikasi langsung dengan presiden tentu ini menjadi agak masalah. Karena berbagai persoalan yang misalnya datang secara bergantian harus direspon cepat. Karena itu saya kira Presiden Prabowo Subianto perlu membukakan ruang komunikasi yang lebih luas, tidak eksklusif hanya pada orang-orang terdekatnya. Semua menteri saya harus diberi akses yang sama untuk bisa menyampaikan masukan, maupun laporan secara langsung pada presiden,” kata Arif.